ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIF PADA NY. K DI DESA SALAKBROJO WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEDUNGWUNI I KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2019
Pengarang : Nesti Ulfa, Suparni, Nur Chabib
Kata Kunci   :Kehamilan Risiko Tinggi (KEK, Anemia Ringan dan Usia > 35 Tahun)
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. Berdasarkan Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2015, angka kematian ibu (AKI) berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan nifas di Indonesia mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 22,23 per 1.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2017). Target Sustainable Development Goals (SDGS) diharapkan pada tahun 2030, yaitu mengurangi Angka Kematian Ibu (AKI) hingga di bawah 70 per 100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (neonatal) sebesar 12 per 1.000 kelahiran hidup. Ada upaya penurunan AKI, salah satunya yaitu dengan melakukan asuhan antenatal terfokus untuk deteksi dini kemungkinan adanya faktor risiko dalam kehamilan (Kemenkes RI, 2016).
Penyebab kematian ibu dibagi menjadi penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab kematian maternal juga tidak terlepas dari kondisi ibu itu sendiri dan merupakan salah satu dari kriteria 4 “terlalu”, yaitu terlalu muda pada saat melahirkan < 20 tahun, terlalu tua pada saat melahirkan > 35 tahun, terlalu banyak anak > 4 anak, terlalu rapat jarak kelahiran atau paritas < 2 tahun (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2016, h.14). Di Provinsi Jawa Tengah sebesar kematian maternal terjadi pada masa hamil sebesar 26,32%. Penyebabnya yaitu 30,37% perdarahan, 32,97% hipertensi, 4,34% infeksi, 12,36% gangguan sistem peredaran darah, 0,87% gangguan metabolisme, 19,09% dan lain-lain. Sedangkan berdasarkan kelompok umur > 35 tahun kematian maternal sebesar 29,89% (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2017, hh. 37-38).
Pada wanita usia diatas 35 tahun pasti dapat mempengaruhi keadaan kehamilannya seperti kondisi fisik ibu, penurunan kondisi rahim, dan penurunan kondisi otot-otot panggul. Kehamilan usia 35 tahun keatas memiliki tingkat risiko lebih berat dari pada kehamilan muda. Ibu hamil diatas 35 tahun menjadi masalah karena dengan bertambahnya umur dan adanya kehamilan membuat ibu memerlukan ekstra energi untuk kehidupannya dan juga kehidupan janin yang sedang dikandung selama masa kehamilan, melahirkan maupun nifas bila dibandingkan dengan kehamilan persalinan dan nifas normal (Sukarni & Margareth 2015, h.111).
Prevalensi ibu hamil dengan resiko tinggi di Indonesia mencapai 31,3% kehamilan resiko tinggi dapat dipicu oleh beberapa penyakit atau kelainan seperti penyakit darah tinggi pada kehamilan, kejang pada kehamilan, perdarahan pada kehamilan setelah 20 minggu, dan anemia dalam kehamilan, perdarahan pada saat persalinan, serta perdarahan post partum (Nurhayati 2012, hh. 33-34). Menurut Detiana (2010, hh.16-17) ibu hamil dengan usia > 35 tahun dapat berisiko terjadi preeklamsi, hipertensi, dan ketuban pecah dini. Penyakit yang sudah ada atau penyakit yang timbul sewaktu kehamilan yang berpengaruh terhadap kehamilan merupakan kematian ibu tidak langsung, misalnya anemia dan kekurangan energi kronis (KEK) (Prawirohardjo 2014, h.54).
Prevalensi ibu hamil dengan risiko kekurangan energi kronis (KEK) di Indonesia sebesar 17,8% (Riskesdas 2018). Menurut Kusparlina (2016, h. 24) status gizi ibu hamil sebelum hamil mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap kejadian BBLR. Ibu dengan status gizi yang kurang sebelum hamil mempunyai risiko 4,27 kali untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang mempunyai status gizi baik (normal). Kekurangan energi kronik (KEK) merupakan kondisi yang disebabkan karena adanya ketidakseimbangan asupan gizi antara energi dan protein, sehingga zat besi yang dibutuhkan tubuh tidak tercukupi. Ibu hamil menderita KEK mempunyai risiko perdarahan, abortus, kematian ibu mendadak pada masa perinatal atau pada masa melahirkan bayi dengan kelainan konginetal, retardasi mental dan lain sebagainya (Sulistiyaningsih 2012, hh. 108-110).
Menurut Tanziha (2016, h. 147) proporsi ibu hamil dengan kekurangan energi kronik akan lebih tinggi berisiko menderita anemia dari pada ibu hamil yang tidak KEK, dimana anemia merupakan kondisi kadar Hb berada dibawah normal. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) tahun 2018, pravelensi anemia pada ibu hamil di Indonesia sebesar 48,9%. Sedangkan ibu hamil yang berusia 35-44 tahun yang mengalami anemia berkisar 33,6%. Dampak anemia dalam kehamilan dapat terjadi persalinan prematuritas, mudah terjadi infeksi, hambatan tumbuh kembang janin di dalam rahim, molahidatidosa, dan perdarahan antepartum. Pada proses persalinan kekuatan mengejan akan terganggu dan his tidak ade kuat, kala I lama, kala II lama, serta perdarahan sekunder dan atonia uteri. Pada masa nifas berdampak perdarahan post partum akibat involusi uterus, produksi ASI menurun, serta dampak yang anak terjadi pada pada janin seperti BBLR dan bayi mudah terjadi infeksi (Sukarni & Sudarti 2014, h. 46).
Pentingnya asuhan persalinan pada kehamilan dengan risiko tinggi yaitu untuk mencegah terjadinya persalinan prematuritas, kekuatan mengejan terganggu dan his tidak adekuat, kala I lama, kala II lama, serta perdarahan sekunder dan atonia uteri. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi komplikasi pada persalinan dengan risiko tinggi adalah dengan melakukan pemeriksaan Antenatal Care (ANC) secara rutin minimal 4x selama kehamilan, memberikan derajat kesehatan yang tinggi bagi ibu dan janin serta upaya terintegrasi dan lengkap dengan intervensi yang seminimal mungkin agar prinsip keamanan dan kulaitas pelayanan dapat terjaga pada tingkat yang diinginkan. Asuhan yang bersih dan aman selama proses persalinan dan setelah kelahiran bayi, serta upaya sikap pencegahan komplikasi terhadap perdarahan setelah persalinan, hipotermi, serta asfiksia bayi baru lahir merupakan dasar asuhan persalinan normal. Tujuan utamanya adalah mencegah dari komplikasi yang terjadi guna mengurangi angka kematian dan kesakitan ibu dan bayi baru lahir (Saifuddin, 2014 h.334).
Periode pasca persalinan meliputi masa transisi kritis bagi ibu, bayi, dan keluarga secara fisiologis, emoaional dan sosial. Masa nifas atau peurperium dini dimulai sejak 2 jam setelah lahirnya plasenta sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu. Menurut Nurhayati (2012, hh. 33-34) Masa nifas dengan kehamilan risiko tinggi dapat berisiko terjadi perdarahan post partum. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk upaya untuk mengatasi komplikasi pada masa nifas diantaranya adalah melakukan kunjungan pada ibu nifas paling sedikit 3 kali sesuai dengan jadwal kunjungan ibu nifas (Kemenkes RI, 2016 h.138).
Pada neonatus dengan kehamilan dengan risiko tinggi dampak yang sering terjadi adalah BBLR. Pada masa ini, perkembangan otak dan fisik bayi selau menjadi perhatian utama karena dapat terjadi komplikasi. Komplikasi dapat dicegah dengan pelayanan kebidanan yang berkualitas dari bayi baru lahir sampai dengan 1 bulan. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi komplilasi pada neonatus dengan kehamilan risiko tinggi diantaranya dengan melakukan kunjungan neonatus sesuai dengan jadwal kunjungan neonatus (Putra 2012, h.185).
Referensi
-
Properti | Nilai Properti |
---|---|
Organisasi | Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan |
[email protected] | |
Alamat | Jl. Raya Pekajangan No. 1A Kedungwuni Pekalongan |
Telepon | (0285) 7832294 |
Tahun | 2019 |
Kota | Pekalongan |
Provinsi | Jawa Tengah |
Negara | Indonesia |